Oleh : John Chen*
Laporan : Aat Surya Safaat
Difatv.com Lampung –
Ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa pandemi Covid-19 bukan lagi sebuah “Darurat kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia”, kegiatan ekonomi dan perdagangan internasional secara bertahap kembali normal.
Negara-negara telah belajar dari pengalaman Covid-19 tentang pentingnya pendekatan “One Health” (Satu Kesehatan) untuk sedini mungkin menanggapi kemungkinan pandemi terulang kembali di masa depan.
WHO berencana untuk merevisi Peraturan Kesehatan Internasional (IHR) saat ini dan secara aktif membahas perumusan Perjanjian Pandemi (Pandemic Agreement) untuk mempercepat pembentukan kerangka tata kelola penyakit global yang lebih komprehensif.
Taiwan sendiri saat ini belum dapat bergabung dengan WHO dan belum bisa berpartisipasi dalam pertemuan dan mekanisme terkait serta tidak dapat berpartisipasi secara langsung dalam merevisi ketentuan IHR atau penyusunan perjanjian pandemi.
Meski demikian Taiwan tetap ingin secara aktif berbagi pengalaman dalam memerangi epidemi dan belajar dari negara lain. Selama periode Covid-19 Taiwan telah mengadopsi tindakan pencegahan yang menggunakan kecerdasan buatan, big data, dan jaringan pengawasan.
Taiwan juga menyumbangkan tabung oksigen, respirator, masker, pakaian APD, termometer, dan peralatan medis serta bahan pencegahan epidemi lainnya ke negara-negara sahabat seperti Indonesia.
Dalam beberapa dekade terakhir Taiwan telah meningkatkan pelayanan medis dan sistem kesehatan masyarakat sesuai rekomendasi WHO, termasuk memperkuat layanan kesehatan primer dan kesehatan mulut, pencegahan dan pengobatan penyakit menular dan tidak menular, dan berupaya meningkatkan cakupan kesehatan nasional sebagai bentuk kontribusi pada keselamatan kesehatan global.
Sementara itu WHO memimpin pengembangan kesehatan masyarakat global dan merupakan organisasi internasional utama yang membela hak atas kesehatan semua orang.
Namun karena pertimbangan politik yang tidak masuk akal, WHO terus mengecualikan Taiwan yang berarti tidak hanya mengabaikan hak atas kesehatan 23 juta penduduk Taiwan, tetapi juga menghambat pencegahan, persiapan, dan tanggapan global dalam menghadapi darurat kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia.
Khusus dengan Indonesia, Taiwan memiliki hubungan persahabatan dan pertukaran antar masyarakat yang sangat erat. Saat ini terdapat 400.000 pelajar dan pekerja migran Indonesia yang tinggal di Taiwan dan lebih dari 20.000 warga negara Taiwan yang tinggal di Indonesia untuk bekerja dan berbisnis. Sementara itu pertukaran wisatawan Taiwan-Indonesia setiap tahun mencapai hampir 500.000 orang.
Tidak seperti Indonesia, sampai saat ini Taiwan belum dapat bergabung dengan WHO dan berpartisipasi dalam konferensi dan mekanisme yang relevan. Taiwan juga tidak dapat memperoleh informasi dan sumber daya mengenai penyakit epidemi serta tidak dapat bergabung dengan rantai pasokan dan jaringan logistik kesehatan masyarakat global.
Konsekuensinya terbentuk kesenjangan dalam jaringan keselamatan kesehatan masyarakat dan menciptakan resiko dalam pencegahan epidemi global, serta merugikan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat Taiwan dan Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, Taiwan telah membuat kemajuan dan kontribusi yang signifikan untuk meningkatkan kesehatan nasional. Taiwan juga bersedia berbagi pengalaman dan keahlian medis dengan dunia internasional.
Saat ini Rumah Sakit National Taiwan University dan Rumah Sakit Far Eastern Memorial bahkan telah melaksanakan berbagai proyek kerja sama dengan institusi medis Indonesia, antara lain berupa pelatihan tenaga medis, pertukaran akademis, dan penelitian klinis.
Selain itu, menanggapi rencana baru Pemerintah Indonesia untuk menyeleksi dan mengirim 10.000 tenaga medis yang akan mengikuti pelatihan di luar negeri, Taiwan bersedia berbagi pengalaman dalam pelayanan medis tingkat tinggi dan kesehatan masyarakat.
Taiwan juga siap menyediakan berbagai pelatihan profesional seperti asuransi kesehatan, manajemen medis, dan kedokteran klinis. Taiwan berharap dapat meningkatkan kerja sama bilateral dengan Indonesia di bidang medis untuk membantu Indonesia mewujudkan visi kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Taiwan sejatinya telah membantu WHO dalam menerapkan “Hak atas Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia”, tetapi hak kesehatan 23 juta penduduk Taiwan telah diabaikan oleh WHO karena faktor politik.
Dalam kaitan ini, kami menyerukan kepada WHO dan mengajak seluruh lapisan masyarakat di Indonesia untuk melihat kontribusi jangka panjang Taiwan terhadap keselamatan kesehatan global dan hak asasi manusia di bidang kesehatan.
Kami juga mendesak WHO untuk mempertahankan sikap terbuka dan fleksibel, menjunjung tinggi prinsip toleransi dan profesionalisme, serta secara proaktif dan pragmatis mengundang Taiwan untuk berpartisipasi dalam Sidang Majelis Kesehatan Dunia (WHA).
Taiwan juga berkeinginan dan siap berpartisipasi dalam pertemuan, kegiatan dan mekanisme yang diadakan oleh WHO, termasuk Perjanjian Pandemi WHO yang sedang dinegosiasikan.
Taiwan bersedia bekerja sama dengan semua negara di seluruh dunia untuk mewujudkan visi piagam WHO bahwa “Kesehatan merupakan hak asasi manusia” dan tujuan pembangunan berkelanjutan PBB adalah untuk “tidak meninggalkan siapa pun”.
Jaringan keselamatan kesehatan global dapat dibangun sepenuhnya dengan mengikutsertakan Taiwan. Dalam kaitan ini pula kami mengajak seluruh lapisan masyarakat di Indonesia untuk mendukung partisipasi Taiwan dalam Sidang WHA dan dalam semua pertemuan, kegiatan, dan mekanisme WHO.
*John Chen adalah Kepala Perwakilan Kantor Perdagangan dan Ekonomi Taipei (TETO) di Indonesia. (Red)