INFORMASI
DIFa TV Terbit Sejak 1 Agustus 2004 - DIFa TV Merupakan Media Siber Online dan Koran Cetak. Kantor Redaksi DIFA TV Berada Di Jalan Sultan Agung, Gang Perdana Jaya, Labuhan Ratu, Bandar Lampung, Lampung.

RUJUKAN KELUARGA MUSLIM DALAM MENCETAK KELUARGA SAKINAH DAN GENERASI BERTAQWA (Studi Analisis Ayat Ahwa al-Syahsiyyah dalam Kajian Tematik Hukum Keluarga Islam)

Oleh :
Dr. Muhammad Irfan, SHI. M.Sy
muhammadirfan@radenintan.ac.id

Editor: Redaksi DIFa TV Lampung

Lampung Difatv.com – Abstrak : Keluarga adalah unit paling kecil dalam struktur masyarakat. Karena masyarakat tersusun dari banyak keluarga, kualitas suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh kondisi keluarga-keluarga di dalamnya. Keluarga yang baik menjadi fondasi lahirnya masyarakat yang makmur, sedangkan keluarga yang tidak teratur menjadi tanda kemunduran masyarakat. Individu yang berkarakter baik akan membentuk keluarga yang rukun, dan keluarga-keluarga yang rukun akan menciptakan masyarakat yang tenteram. Selanjutnya, masyarakat yang tenteram akan membawa pada terbentuknya negara yang kuat dan sejahtera. Oleh sebab itu, untuk membangun negara yang kuat dan makmur, perlu diwujudkan masyarakat yang damai, dan untuk menciptakan masyarakat yang damai, keluarga-keluarga harus dibina agar menjadi baik dan harmonis. Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai Bagaimana Potret keluarga Imran dan Nabi Ibrohim As sebagaimana Allah jelaskan dalam al-Qur’an dan bagaimana pelajaran yang bisa diteladani dari keluarga Imran dan nabi Ibrohim As.

Kata kunci : Rujukan, Keluarga Muslim, Sakinah, Bertakwa

PENDAHULUAN

Keluarga merupakan kelompok terkecil dalam sebuah tatanan masyarakat. Oleh karena masyarakat adalah himpunan dari beberapa keluarga maka baik buruknya sebuah masyarakat sangat bergantung kepada baik buruknya keluarga. Keluarga yang baik merupakan awal dari masyarakat yang sejahtera. Sebaliknya, keluarga yang amburadul adalah pertanda hancurnya sebuah masyarakat. Individu-individu yang baik akan membentuk keluarga yang harmonis. Keluarga-keluarga yang harmonis akan mewujudkan masyarakat yang aman dan damai. Selanjutnya masyarakat-masyarakat yang damai akan mengantarkan kepada negara yang kokoh dan sejahtera. Maka, jika ingin mewujudkan negara yang kokoh dan sejahtera bangunlah masyarakat yang damai. Dan jika ingin menciptakan masyarakat yang damai binalah keluarga-keluarga yang baik dan harmonis.
Mengingat begitu pentingnya peranan keluarga dalam menciptakan masyarakat yang baik dan sejahtera maka Islam memberikan perhatian yang sangat besar pada pembinaan keluarga. Karena – seperti disinggung di atas – seandainya instrumen terpenting dalam masyarakat ini tidak dibina dengan baik dan benar, adalah mustahil dapat terwujudnya sebuah tatanan masyarakat yang damai dan sejahtera.
Dalam Al-Qur’an banyak terdapat potret keluarga sepanjang zaman. Ada potret keluarga saleh (An’amta alaihim) dan ada juga potret keluarga tidak harmonis (maghdhubi alaihim), ada keluarga celaka (dhallin). Potret-potret keluarga tersebut meskipun terjadi pada masa dan lingkungan yang berbeda dengan masa saat ini, akan tetapi ia tetap mengandung banyak hikmah dan pelajaran berharga yang senantiasa kekal sepanjang zaman. Dalam tulisan sederhana ini, akan dikemukakan beberapa potret keluarga teladan dalam Al-Qur’an untuk kemudian kita petik hikmah dan pelajaran-pelajaran berharganya, sehingga dapat kita jadikan sebagai etika dalam berkeluarga.

Dalam Al-Qur’an ada yag disebut dengan surat Ali Imron (keluarga Imran). Tentunya bukan sebuah kebetulan nama keluarga ini dipilih menjadi salah satu nama surat terpanjang dalam Al-Qur’an, namun di dalamnya memuat pelajaran yang berharga sehingga menjadi rujukan seluruh anak manusia untuk mencapai keluarga yang sakinah, mawaddah dan warohmah. Satu hal yang menarik bahwa profil Imran sendiri-yang namanya diabadikan menjadi nama surat ini secara langsung tidak disinggung justru yang banyak disebut adalah istri Imran (imra’atu Imran) bersama puterinya Maryam. Hal ini memberikan isyarat bahwa keberhasilan mendidik keluarga yang solih dan sholihah dibutuhkan kerjasama yang baik antara suami dan isteri.
Dikisahkan bahwa Imran dan istrinya sudah berusia lanjut. Akan tetapi keduanya belum juga dikaruniai seorang anak. Maka istri Imran bernazar, seandainya ia dikaruniai Allah seorang anak ia akan serahkan anaknya itu untuk menjadi pelayan rumah Allah (Baitul Maqdis) Allah abadikan dalam al-Qur’an QS. Ali Imron ayat 35

إِذْ قَالَتِ امْرَأَتُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ﴿آل عمران:٣٥﴾

(ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Nazar itu ia ikrarkan karena ia sangat berharap agar anak yang akan dikaruniakan Allah itu adalah laki-laki sehingga bisa menjadi khadim (pelayan) yang baik di Baitul Maqdis. Ternyata anak yang dilahirkannya adalah perempuan. Istri Imran tidak dapat berbuat apa-apa. Allah swt. telah menakdirkan anaknya adalah perempuan dan ia tetap wajib melaksanakan nazarnya. Ia tidak mengetahui bahwa anak perempuan yang dilahirkannya itu bukanlah anak biasa. Karena ia yang kelak akan menjadi ibu dari seorang nabi dan rasul pilihan Allah. Maka isteri Imron pun menghadap Rabb nya

فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنْثَىٰ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَىٰ وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ﴿آل عمران:٣٦﴾

Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai Dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada Engkau daripada syaitan yang terkutuk.”

Meskipun awaalnya isteri imron menginginkan anak laki-laki namun ia tetap ikhlas menerima dengan penuh kebahagiaan dan rasa syukur dihadapan Allah Swt, hal tersebut dibuktikan dengan beliau langsung memberikan nama kepada puteri yang ia lahirkan dengan bernama maryam. Sifat langsung memberikan nama kepada bayi yang dilahirkan adalah sifat penuh kegembiraan dan keikhlasan yang mendalam. Al-Quran di sini mengingatkan bahwa Allah Swt memberikan anak berdasarkan hikmah dan maslahat karena Allah lebih mengetahui rahasia apa yang terkandung di dalamnya. Namun manusia selalu memiliki sifat ajula (tergesa-gesa) sehingga terkadang tak mampu membendung hawa nafsu yang akhirnya menyalahkan qudrat ilahi dengan mengatakan Allah tidak adil dan lain sebagainya, padahal Allah memiliki skenario sendiri yang lebih hebat dari skenario manusia.

PEMBAHASAN
Kisah keluarga imron tentu merupakan teladan yang besar dalam peradaban manusia, sehingga banyak pelajaran yang dapat diambil dan menjadikannya sebagai rujukan atau referensi bagaimana langkah mendidik dan mencetak keluarga yang sholih dalam pandangan Allah bukan dalam penilaian manusia. Dilanjutkan dalam ayat berikutnya

فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّىٰ لَكِ هَٰذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ ﴿آل عمران:٣٧﴾

Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.

Berikut pelajaran yang dapat diambil dari keluarga imron sebagai referensi dalam mencetak keluarga yang solihin :

Apa yang menjadi keinginan dari pasangan yang telah menikah menginginkan seorang anak perlu adanya kesabaran. Karena tidak serta merta setiap pasangan yang telah menikah langsung dikarunia seorang anak, ada yang sudah mencapai 10 sampai 20 tahun belum memiliki keturunan adapula yang lebih dari itu. Betapa sifat sabar memberikan pengaruh yang besar dalam menghasilkan keturunan yang solih.

Terus bermunajat kepada Allah jangan pernah merasa bosan apalagi seolah tidak butuh karena munajat atau do’a yang dilakukan seorang hamba merupakan gerbang menuju ridho Allah. Dalam munajat tidak selamanya seperti seperti disuntik, adakalanya seperti bercocok tanam, dalam bercocok tanam hari ini ia menanam sementara hasilnya bisa dinikmati 5 atau 10 tahun akan datang dan bahkan bisa lebih.

Amaliah ibadah apa saja hasilnya akan ditentukan oleh niat, keinginan besar istri Imran bila kelak dikaruniai anak ia menginkan agar menjadi anak yang sholih berbakti kepada Allah Swt cita-cita tersebut dibuktikan dengan nazar beliau. Artinya kesholihan anak ditentukan dengan keinginan cita yang luhur oleh orangtua sebelum anak hadir dimuka bumi ini.

Selayaknya, setiap orang tua muslim memiliki orientasi seperti halnya ibu Maryam ini. Ia tidak risau dengan nasib anaknya secara duniawi karena ia yakin bahwa setiap anak yang lahir sudah Allah jamin rezekinya. Apa yang menjadi buah pikirannya adalah bagaimana anaknya mendapatkan lingkungan yang baik untuk menjaga agama dan kehormatannya.

Dengan orientasi seperti ini tidak mengherankan bila putrinya Maryam tumbuh menjadi seorang wanita yang paling suci di muka bumi. Lebih dari itu, ia dimuliakan oleh Allah dengan menjadi ibu dari seorang Nabi dan Rasul yang mulia; Isa bin Maryam melalui sebuah mukjizat yang luar biasa yaitu melahirkan anak tanpa seorang suami. Maka, orientasi orang tua tehadap anaknya adalah sesuatu yang sangat penting sebagaimana pentingnya membekali mereka dengan nilai-nilai keimanan sejak kecil.

Ketabahan dan kesabaran istri Imran dalam menerima takdir Allah swt. ketika anak yang dilahirkannya ternyata perempuan dan bukan laki-laki sebagaimana yang ia harapkan. Kesabaran dan sikap tawakal menerima keputusan Allah ini ternyata menyimpan rahasia yang agung bahwa kelak anak perempuan tersebut akan menjadi ibu seorang Nabi dan Rasul. Alangkah perlunya sikap ini diteladani oleh setiap keluarga muslim, terutama yang akan dikaruniai seorang anak. Boleh jadi apa yang Allah takdirkan berbeda dengan apa yang diharapkan. Namun yang akan berlaku tetaplah takdir Allah, suka atau tidak suka. Maka, kewajiban seorang muslim adalah menerima segala takdir Allah itu dengan lapang dada dan suka cita, karena Allah tidak akan menakdirkan sesuatu kecuali yang terbaik bagi hamba-Nya.

Maryam kecil akhirnya diasuh oleh Zakaria yang masih famili dekat dengan Imran. Tentu saja asuhan dan didikan Zakaria – yang juga seorang Nabi dan Rasul ini – sangat berdampak positif bagi pertumbuhan diri dan karakter Maryam, sehingga ia tumbuh menjadi seorang gadis yang suci dan terjaga harga dirinya. Dikisahkan bahwa ketika malaikat Jibril menemuinya dalam rupa seorang lelaki untuk memberi kabar gembira kepadanya tentang ia akan dikaruniai seorang putra, Maryam menjadi sangat takut melihat sosok lelaki asing yang tiba-tiba hadir di hadapannya.

Hal itu tak lain karena ia memang tidak pernah bergaul dengan laki-laki manapun yang bukan mahramnya. Inilah sifat iffah (menjaga diri) yang didapat Maryam dari hasil didikan Zakaria. Untuk itu, setiap orang tua muslim selayaknya memilih lingkungan dan para pendidik yang baik bagi anak-anaknya, apalagi di usia-usia sekolah yang sangat menentukan pembentukan karakter dan pribadinya dimasa yang akan datang.

Seandainya orang tua keliru dalam memilih lingkungan dan sarana pendidikan bagi anak-anaknya, maka kelak akan timbul penyesalan ketika melihat anak-anaknya jauh dari tuntunan etika dan akhlak yang mulia. Untuk itu etika berkeluarga dalam al-quran melalui kisah keluarga Imran ini adalah sbb;

Kesuksesan keluarga Islam adalah mampu mengantarkan anggota keluarganya menjadi muslim / muslimah yang mencintai Allah.
Menjadikan Allah sebagai satu satunya tujuan.
Selalu mendoa’kan anak dengan penuh keikhlasan dan kasih sayang
Ikhlas menerima takdir Allah.
Memilih lingkungan yang baik bagi pendidikan anak.
Keluarga Nabi Ibrahim AS.

Barangkali dari sekian potret keluarga yang disinggung dalam Al-Qur’an, keluarga Nabi Ibrahimlah yang banyak mendapat sorotan. Bahkan dimulai sejak Ibrahim masih muda ketika ia dengan gagah berani menghancurkan berhala-berhala kaum musyrikin sampai ia dikaruniai anak di masa-masa senjanya. Keluarga Nabi Ibrahim AS. termasuk keluarga pilihan di seluruh alam semesta. Sebagaimana disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 33:

إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ ﴿آل عمران:٣٣﴾

Artinya; Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat di seluruh alam.
Disaat usia Ibrahim sudah sangat lanjut beliau tak henti-hentinya bermunajat kepada Allah baik malam maupun di siang hari agar kelak dikarunia seorang putera yang solih, anak yang berbakti kepada Allah dan Rasulnya menjadi penerus dalam mensyi’arkan agama Allah Swt. Atas kuasa Allah akhirnya munajat Ibrahim dikabulkan anak tersebut lahir dari Rahim isteri beliau yang mulia dan agung yang diberi nama Ismail

Penantian yang sekian lama membuat Ibrahim sangat mencintai anak semata wayangnya. Atas nama cinta dan kasih saying Allah swt kepada nabi Ibrahim ujian pun diberikan kepadanya karena Allah ingin menguji keimanan dan ketaqwaan kekasihnya tersebut. Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih anaknya. Sebelum melaksanakan perintah itu, terjadi dialog yang sangat harmonis dan menyentuh hati antara anak dan bapak. Ternyata, sang anak dengan hati yang tegar siap menjalani semua kehendak Allah.

Ia bersedia disembelih oleh ayahnya demi menjalankan perintah Allah swt. Ketegaran sang ayah untuk menyembelih sang anak dan kesabaran sang anak menjalani semua itu telah membuat mereka berhasil menempuh ujian yang maha berat. Allah abadikan peristiwa tersebut dalam QS. Ash-Shaffaat ayat 100-107.
Ya Tuhanku, anugrahilah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang Amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Wahai anakku Sesungguhnya ayah melihat dalam mimpi bahwa ayah menyembelihmu nak. Maka fikirkan bagaimana pendapatmu!” ia menjawab: “ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah ananda termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggil dia: “Hai Ibrahim, Sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpi. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak tersebut dengan seekor sembelihan yang besar.

Ada beberapa pelajaran yang ingin kita petik dari penggalan kisah keluarga Nabi Ibrahim As. Sehingga dapat dijadikan sebagai rujukan dalam membina keluarga kita,;
Berdialog kepada anak akan menampilkan kedewasaan sehingga menumbuhkan rasa kasih sayang diantaranya.

Sebagai bukti bahwa Ibrahim taat kepada Allah semua itu ia lakukan dilihat dari segi perintah tentu sangat memungkinkan ibrahim langsung melakukan penyembelihan kepada anaknya, apalagi perintah tersebut datang dari maha kuasa akan tetapi Ibrahim tetap melakukan dialog bersama putranya untuk meminta pendapatnya. Inilah barangkali yang mulai hilang dari keluarga muslim saat ini. Posisi anak dalam keluarga cenderung diabaikan dan dipandang sebelah mata.

Anak seolah hanya berkewajiban untuk sekedar menuruti segala perintah orang tua tanpa memiliki hak bicara dan berpendapat sedikitpun. Akhirnya hubungan orang tua dengan anak ibarat hubungan atasan dengan bawahan. Hubungan seperti ini apabila dibiarkan terus berlanjut akan menghambat perkembangan karakter dan pribadi anak.

Anak cenderung menjadi penakut dan tidak percaya diri. Atau kepatuhan yang ditampilkannya pada orang tua yang bersikap seperti ini hanyalah kepatuhan yang semu, sementara di dalam jiwanya ia menyimpan sikap penentangan dan pembangkangan yang luar biasa. Ia hanya mampu memendam sikap penentangan itu tanpa mampu melampiaskannya.

Sikap penentangan ini akan menjadi bom waktu dalam jiwa anak yang suatu saat akan meledak jika situasi dan kondisinya mendukung. Agar semua ini tidak terjadi, perlu dibangun komunikasi dan dialog yang harmonis antara orang tua dan anak. Kebiasaan orang tua yang selalu meminta pendapat anaknya – khususnya yang berhubungan langsung dengan dirinya – akan memberikan rasa percaya diri yang besar dalam jiwa anak. Ia akan merasa keberadaannya dalam keluarga dihargai dan diperhatikan. Selanjutnya, perasaan ini akan menumbuhkan sikap kreatif dan proaktif dalam jiwa anak di tengah-tengah masyarakat.

Ketaatan Ibrahim dan Kesabaran Ismail kunci terciptanya keluarga sakinah .
Adalah sesuatu yang teramat berat untuk menjalankan perintah seperti ini, apalagi dari seorang anak yang masih sangat belia. Tentu saja ini adalah hasil dari sebuah didikan yang luar biasa. Pendidikan yang mampu menumbuhkan sikap tawakal yang luar biasa dalam jiwa anak. Pendidikan yang membuat anak bersedia menjalankan apapun perintah Allah, sekalipun akan mengorbankan nyawanya. Namun hal itu tidaklah mustahil, karena dalam rentang sejarah Islam juga banyak anak-anak yang sangat dewasa dalam menjalankan perintah Allah. Diriwayatkan bahwa anak-anak para salafusshaleh sering berpesan kepada ayahnya sebelum ayahnya pergi mencari nafkah: “Ayah, carilah rezeki yang halal, karena sesungguhnya kami mampu bersabar dalam kelaparan tapi kami tidak akan mampu bertahan dalam siksa neraka.” Tentunya sikap seperti ini hanya dapat dihasilkan melalui pendidikan yang serius sejak dini dengan menanamkan nilai-nilai keimanan dalam jiwa anak sedari kecil.

Cinta pada anak adalah ujian.
Firman Allah swt dalam QS.14-15
Artinya : Hai orang-orang mu’min, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan , dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS. At-Taghabun : 14-15)

Dalam tafsir ibnu katsir dijelaskan ayat tersebut semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman Allah dalam ayat lain:

زيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Ali Imran: 14)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ، حَدَّثَنِي حُسَين بْنُ وَاقَدٍ، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيدة، سَمِعْتُ أَبِي بُرَيْدَةَ يَقُولُ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَجَاءَ الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَلَيْهِمَا قَمِيصَانِ أَحْمَرَانِ يَمْشِيَانِ وَيَعْثُرَانِ، فَنَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْمِنْبَرِ فَحَمَلَهُمَا فَوَضَعَهُمَا بَيْنَ يَدَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: “صَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ، إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ، نَظَرْتُ إِلَى هَذَيْنِ الصَّبِيَّيْنِ يَمْشِيَانِ وَيَعْثُرَانِ فَلَمْ أَصْبِرْ حَتَّى قَطَعْتُ حديثي ورفعتهما”.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepadaku Husain ibnu Waqid, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Buraidah, bahwa ia pernah mendengar Abu Buraidah mengatakan, “Dahulu Rasulullah Saw. ketika sedang berkhotbah, datanglah Al-Hasan dan Al-Husain r.a. yang mengenakan baju gamis merah, keduanya berjalan dengan langkah yang tertatih-tatih. Maka Rasulullah Saw. langsung turun dari mimbarnya dan menggendong keduanya, lalu mendudukkan keduanya di hadapannya, kemudian bersabda: Allah dan Rasul-Nya benar, sesungguhnya harta dan anak-anak kalian hanyalah cobaan. Aku memandang kedua anak ini yang berjalan dengan langkah yang tertatih-tatih, maka aku tidak sabar lagi hingga terpaksa aku putuskan pembicaraanku dan, menggendong keduanya’.

Ahlus Sunan telah meriwayatkan hadis ini melalui Husain ibnu Waqid dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib, sesungguhnya kami mengetahui hadis ini hanya melalui hadisnya (Husain ibnu Waqid).’

وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُرَيج بْنُ النُّعْمَانِ، حَدَّثَنَا هُشَيْم، أَخْبَرَنَا مَجَالِدٌ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، حَدَّثَنَا الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ قَالَ: قَدِمْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَفْدِ كِنْدَةَ، فَقَالَ لِي: “هَلْ لَكَ مِنْ وَلَدٍ؟ ” قُلْتُ: غُلَامٌ وُلِدَ لِي فِي مَخرجَي إِلَيْكَ مِنِ ابْنَةِ جَمْدٍ، وَلَوَددْتُ أَنَّ بِمَكَانِهِ: شبَعَ الْقَوْمِ. قَالَ: “لَا تَقُولَنَّ ذَلِكَ، فَإِنَّ فِيهِمْ قُرَّةَ عَيْنٍ، وَأَجْرًا إِذَا قُبِضُوا”، ثُمَّ قَالَ: “وَلَئِنْ قُلْتَ ذَاكَ: إِنَّهُمْ لَمَجْبَنَةٌ مَحْزنة”

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih ibnun Nu’man, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari Asy-Sya’bi, telah menceritakan kepada kami Al-Asy’as ibnu Qais yang mengatakan bahwa aku datang menghadap kepada Rasulullah Saw. dalam delegasi Kindah, lalu beliau Saw. bertanya kepadaku, “Apakah engkau punya anak?” Aku menjawab, “Ya, seorang putra yang baru dilahirkan untukku dari anak perempuan Hamd sebelum keberangkatanku kepada engkau. Dan sesungguhnya aku berharap sekiranya kedudukannya diganti dengan kaum yang pemberani.” Maka Nabi Saw. bersabda: Jangan sekali-kali kamu katakan demikian, karena sesungguhnya di antara mereka terdapat penyejuk hati dan pahala yang banyak bila mereka dicabut (nyawanya semasa kecil). Kemudian Nabi Saw. bersabda: Dan sesungguhnya jika kukatakan memang demikian, sesungguhnya mereka (anak-anak) itu benar-benar merupakan penyebab hati menjadi pengecut dan duka cita.
Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini secara munfarid.

قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ بَكْرٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ عِيسَى [بْنِ أَبِي وَائِلٍ] عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “الْوَلَدُ ثَمَرَةُ الْقُلُوبِ، وَإِنَّهُمْ مَجبنة مَبخلة مَحْزَنَةٌ”

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Bakar, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Isa, dari Ibnu Abu Laila, dari Atiyyah, dari Abu Sa’id yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Anak itu adalah buah hati, dan sesungguhnya mereka itu penyebab hati menjadi pengecut, sifat menjadi kikir, dan sumber kesedihan.

Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa kami tidak mengenal hadis ini kecuali melalui sanad ini.

قَالَ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ مَرْثَدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَيَّاشٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، حَدَّثَنِي ضَمْضَمُ بنُ زُرْعَةَ، عَنْ شُرَيْحِ بْنِ عُبَيْدٍ، عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “لَيْسَ عَدُوُّكَ الَّذِي إِنْ قَتَلْتَهُ كَانَ فَوْزًا لَكَ، وَإِنْ قَتَلَكَ دَخَلْتَ الْجَنَّةَ، وَلَكِنَّ الَّذِي لَعَلَّهُ عَدُوٌّ لَكَ وَلَدُكَ الَّذِي خَرَجَ مِنْ صُلْبِكَ، ثُمَّ أَعْدَى عَدُوٍّ لَكَ مالُك الَّذِي مَلَكَتْ يَمِينُكَ”

Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasim ibnu Marsad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Iyasy, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadakuDamdam ibnu Zur’ah, dari Syuraih ibnu Ubaid, dari Abu Malik Al-Asy’ari, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Musuhmu itu bukanlah orang yang jika kamu bunuh, maka kemenangan bagimu; dan jika dia membunuhmu, maka kamu masuk surga. Tetapi barangkali yang menjadi musuhmu itu adalah anakmu yang keluar dari sulbimu sendiri. Kemudian musuh bebuyutanmu adalah harta yang kamu miliki.

PENUTUP
Memperhatikan potret keluarga teladan dalam Al-Qur’an seperti tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa; Al-Quran harus dijadikan rujukan sebagai sumber utama pedomaan hidup bagi keluarga yang ingin mencapai sakinah mawaddah dan warahmah. Menyelasikan masalah dengan melihat situasi dan kondisi adalah hal yang utama namun kemampuan melihat psikologis anak dan isteri jauh lebih utama. Pemahaman yang baik terhadap keadaan psikologi keluarga akan memudahkan seorang ayah mencari solusi dari masalah yang dihadapi. apapun permasalahan yang terjadi, seberat apapun maka komunikasi yang didahulukan adalah dengan keluarga., menginginkan anak solih harus berawal dari kesholihan kedua orangtua terlebih dahulu.

Bagaimanapun cintanya orang tua kepada anaknya tidak boleh kecintaannya melebihi cintanya kepada Allah. Ketika istri, anak-anak dan keluarga lebih dicintai daripada Allah saat itulah mereka akan berubah menjadi musuh di akhirat kelak. Rahasia keluarga Imron, Nabi Ibrahim dan Ismail dalam berumahtangga adalah bersikap sabar dan tabah dalam menjalankan perintah Allah, meskipun itu sangat berat, Allah swt. Sebagaimana perjuangan nabi Ibrahim dan Ismail menerima pengorbanan mereka dan menjadikan keluarga mereka sebagai keluarga pilihan di alam semesta, dan nama baik Nabi Ibrahim AS itu sebagai pelajaran bagi generasi berikutnya . Baik keluarga Imron dan Nabi Ibrahim mereka telah lulus menjalani sebuah ujian yang sangat berat. Kesabaran dan ketabahan dalam menjalankan perintah Allah itu hanya dapat diperoleh dengan keimanan yang kuat dan keyakinan yang kokoh bahwa kehendak Allah adalah yang terbaik meskipun bertentangan dengan hawa nafsu manusiawi.

Diantara butir-butir etika berkeluarga sebagai petikan dari keluarga Ibrahim AS adalah; Selalu menjalin komunikasi yang baik antara kedua orangtua dengan anak., Kasih saying suami kepada keluarga sebagai kunci kesuksesan dalam rumah tangga., Ibu yang shalehah tidak lepas dari proses tarbiyah seorang ayah yang shaleh., ketaatan dan kesabaran akan melahirkan ketaqwaan dihadapan Allah Swt, kecintaan kepada anak adalah suatu ujian yang besar dari Allah SWT, menempatkan cinta kepada Allah lebih dari segala-galanya, seorang suami harus mampu menciptakan lingkungan keluarga yang baik.

Ada beberapa istilah yang menarik terkait dengan anak, ada yang disebut :
Anak panah
Ada istilah anak panah saat anak panah belum keluar dari busur ia selalu bersama-sama dengan anak panah lainnya kumpul menjadi satu tidak berpisah apalagi berlainan tempat, namun setelah anak panah tersebut lepas dari busur apa yang terjadi selama-lamanya dia tidak kembali lagi ke asal . fiolosofi ini menggambarkan ada anak yang disaat belum tau apa-apa ia bersama kedua orangtuanya, dibina, dididik, dibimbing diarahkan bisa, 20 sampai 30 tahun lamanya. Namun setelah anak tersebut berhasil dia tidak mau lagi bicara dengan orangtuanya malu dia menunjukkan kepada sahabat karib bahkan yang lebih parah dari itu ada diantara anak-anak yang tidak mengakui akan keberadaan kedua orangtuanya. Hal ini menggambarkan kedurhakaan anak kepada kedua orangtua.

Anak kunci
Ada lagi istilah anak kunci perhatikan anak kunci, ia terkadang tidak sendirian namun bersama dengan anak kunci lainnya, saat mau keluar anak kunci itu berbunyi saat masuk anak kunci juga berbunyi. Hal ini menggambarkan kepribadian seorang anak bahwa ia selalu berdialok kepada kedua orangtuanya saat keluar dia izin dan saat pulang pun dia menyapa. Menunjukkan anak tersebut berbakti kepada ayah dan ibunya.

DAFTAR PUSTAKA

https://islami.co/ciri-ciri-sakinah-mawaddah-dan-rahmah-menurut-quraish-shihab/, Nadya Syarifah

Alaudin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdady, Tafsir al-Khazin, Juz 1 cet. Ke II th 1375 H/1955 M,
https://tafsirweb.com/1165-surat-ali-imran
Nalar-Jurnal Peradaban dan Pemikiran IslamVol. 1 No. 1 Tahun 2017
Oemar Bakri, Tafsir rahmat, Mutiara Jakarta 1981
https://tafsirweb.com/10958-surat-at-taghabun-ayat-14.html
http://www.ibnukatsironline.com/2015/10/tafsir-surat-at-taghabun-ayat-14-18.html