INFORMASI
DIFa TV Terbit Sejak 1 Agustus 2004 - DIFa TV Merupakan Media Siber Online dan Koran Cetak. Kantor Redaksi DIFA TV Berada Di Jalan Sultan Agung, Gang Perdana Jaya, Labuhan Ratu, Bandar Lampung, Lampung.

Perkembangan Konten Keislaman di Media Digital Indonesia

Oleh : Masduki Baidlowi
Laporan : Aat Surya Safaat (Direktur UKW PWI)
Editor : Valen

Bandar Lampung, Difatv.com – Tidak dapat dipungkiri, hari-hari ini terjadi perubahan pola belajar agama, yaitu dari konvensional ke digital atau terjadi migrasi ke platform online, dimana generasi muda kini banyak belajar agama via internet dan media sosial.

Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta 2017 mencatat 50,9 persen pelajar-mahasiswa mencari pengetahuan agama dari internet/medsos (lebih tinggi dari yang mengandalkan buku, yaitu 48,6 persen).

Kecenderungan ini kian meningkat seiring terjadinya penetrasi internet di Indonesia, dimana pada awal 2024 saja sudah mencapai 79,5 persen populasi. Peran “Ustaz Google” dan Artificial Intelligence (AI) mulai difungsikan layaknya ustaz untuk menjawab pertanyaan agama.

Fenomena “Ustaz Google” mendorong anak muda untuk merujuk jawaban instan di ranah digital. Hal ini menggeser pola belajar tradisional (pengajian tatap muka, majelis taklim) menuju interaksi personal di ruang maya.

Media sosial (YouTube, Instagram, TikTok) dan aplikasi Islami sudah menjadi mimbar dakwah baru. Ustaz/pendakwah membuat konten ceramah, kajian fikih, hingga tanya-jawab agama secara live streaming maupun video pendek.

Kemudahan ini memungkinkan siapa pun mengakses ilmu agama kapan saja dan di mana saja, menggantikan keterbatasan ruang dan waktu dalam metode konvensional.

Dampak Positif Digitalisasi

Informasi keagamaan kini mudah diakses. Dakwah digital menembus batas geografis. Siapa pun bisa mendengarkan ceramah ulama terkemuka secara online, membaca tafsir Al-Qur’an via ponsel, atau belajar hadits melalui aplikasi. Ini sangat membantu masyarakat di wilayah terpencil dalam mendapatkan ilmu agama yang sebelumnya sulit dijangkau.

Maka, media sosial perlu menghadirkan konten dakwah yang interaktif dan kreatif serta menarik minat generasi muda. Pendekatan visual di Instagram/TikTok, podcast kajian, hingga infografis keislaman membuat belajar agama lebih atraktif. Jangkauan dakwah pun meluas melintasi sekat usia dan gaya belajar.

Era digital sendiri memfasilitasi terbentuknya komunitas Muslim lintas negara. Melalui grup WA, Telegram, dan forum daring, umat dapat berbagi pengalaman dan saling mendukung serta bertukar ilmu.

Solidaritas umat pun menguat, misalnya, penggalangan dana kemanusiaan untuk korban bencana dapat dilakukan secara cepat melalui media sosial, melibatkan donatur dari berbagai belahan dunia.

Efek Negatif Digitalisasi

Terkait distribusi narasi keagamaan di medsos Indonesia, riset PPIM UIN Jakarta menyebutkan, narasi konservatif sepanjang 2009-2019 mendominasi 67,2 persen, sedangkan moderat hanya 22,2 persen. Narasi Islam konservatif cenderung mendominasi percakapan keagamaan di medsos, sementara suara Islam moderat relatif tenggelam.

Penelitian menunjukkan bahwha akun berpaham Islamis/konservatif memiliki potensi viral lebih tinggi daripada akun moderat (fenomena noisy minority) sehingga membuat pesan Islam wasathiyah kalah gaung di ruang digital.

Arus informasi digital yang bebas membuka peluang penyebaran konten menyesatkan. Muncul hoaks berbalut agama, hadits palsu, dan tafsir keliru yang beredar luas. Kurangnya literasi digital membuat sebagian masyarakat mudah mempercayai disinformasi yang dapat memicu salah paham dan polarisasi.

Sementara itu algoritma media sosial kerap memprioritaskan konten sensasional berbasis engagement. Akibatnya, materi provokatif atau ekstrem lebih mudah viral dibanding konten moderat-edukatif. Pengguna bisa terperangkap dalam filter bubble yang mempersempit sudut pandang dan memperkuat radikalisasi melalui rekomendasi konten sejenis.

Dalam kaitan ini kelompok ekstremis memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan ideologi radikal dan merekrut simpatisan. Sepanjang tahun 2024, pemerintah memblokir sekitar 180.954 konten bermuatan intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme di ranah siber.

Konten tersebut sebagian besar berupa propaganda jaringan teroris. Angka ini menunjukkan luasnya peredaran konten berbahaya yang mengancam pemahaman Islam moderat di dunia maya.

Islam Kebangsaan, Demokrasi dan Keutuhan NKRI

Sementara itu hasil survei SMRC 2017 menunjukkan 79,3 persen responden menilai NKRI berideologi Pancasila sebagai bentuk negara terbaik, dan hanya 9,2 persen yang setuju Indonesia menjadi negara khilafah.

Mayoritas umat Islam Indonesia mendukung konsep Islam kebangsaan yang sejalan dengan demokrasi Pancasila. Keterikatan antara pemahaman keislaman yang wasathiyah-nasionalis dengan komitmen pada NKRI terbukti kuat, sehingga peran Islam moderat krusial dalam menjaga eksistensi Indonesia sebagai negara majemuk.

Meski pendukung ide khilafah hanya minoritas, jumlah absolutnya signifikan (sekitar 20 juta penduduk) sehingga tetap perlu diwaspadai pengaruhnya terhadap stabilitas nasional.
Di sisi lain, Organisasi Islam arus utama seperti NU dan Muhammadiyah konsisten menanamkan Islam wasathiyah yang cinta tanah air. Keduanya merepresentasikan kekuatan civil society Islam dan berperan penting dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Studi menunjukkan penguatan Islam moderat melalui NU-Muhammadiyah terkait langsung dengan keberlanjutan demokrasi dan keselamatan masyarakat di Tanah Air, dan pemahaman “Islam kebangsaan” berperan sebagai benteng terhadap ideologi transnasional yang mengancam NKRI.

Misalnya, konsep khilafah ala HTI dianggap tidak cocok dengan Indonesia dan mengganggu persatuan nasional. Pemerintah bertindak tegas membubarkan kelompok semacam itu demi menjaga Pancasila dan UUD 1945.

Ini menegaskan bahwa dukungan umat pada demokrasi Pancasila harus dibarengi dengan kewaspadaan terhadap ide-ide radikal yang dapat memecah belah bangsa.

Risiko Konten Keislaman Digital Tanpa Sanad

Era digital melahirkan banyak influencer agama dadakan tanpa latar belakang keilmuan mumpuni. Popularitas di medsos kerap menggeser otoritas ulama tradisional, maka muncul “ustadz medsos” dengan ribuan pengikut, meski ilmu agamanya dangkal.

Fenomena ini menantang sistem otoritas keagamaan konvensional, karena konten viral sering kali lebih didengar daripada nasihat kiai ber-sanad, sementara dalam tradisi Islam, belajar harus berguru pada ulama yang memiliki sanad (rantai keilmuan) tersambung hingga Rasulullah.

Konten agama digital yang tanpa sanad berisiko menyesatkan. Ulama mengingatkan bahwa tanpa sanad, orang akan bebas bicara agama sesuka hati sesuai hawa nafsu dan kepentingannya. Contoh nyata, banyak kasus ayat atau hadits dikutip sepotong-potong di medsos untuk pembenaran kekerasan atau sikap intoleran.

Perlu dicatat, belajar agama secara otodidak lewat internet tanpa bimbingan guru akan berbahaya, dan generasi muda yang hanya mengandalkan Google atau YouTube rentan terpapar tafsir tekstual sempit, teori konspirasi, atau ideologi ekstrim. Tanpa sistem sanad yang memverifikasi kebenaran ilmu, pintu masuk radikalisme menjadi terbuka lebar di ranah digital.

Peran Ormas Keagamaan dalam Menjaga Islam Wasathiyah

Ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah berupaya memenuhi ruang digital dengan konten Islam wasathiyah. Misalnya, situs NU Online telah diakui sebagai rujukan informasi keislaman moderat di dunia maya. Keduanya aktif menerbitkan artikel, fatwa, dan video ceramah yang mengajarkan Islam rahmatan lil ‘alamin.

Kesadaran bahwa “internet adalah wilayah dakwah” mendorong ormas moderat lebih giat hadir di media sosial. NU, Muhammadiyah dan ormas lain menggalang tim cyber dakwah (seperti Cyber Army NU dan lain-lain) untuk menyebarkan pesan wasathiyah.
Mereka juga bekerjasama dengan pemerintah (Kominfo, BNPT) dalam program deradikalisasi online, seperti pembuatan konten kontra-narasi ekstrem dan pelaporan konten radikal. Ormas keagamaan perlu menjalankan pelatihan literasi digital bagi da’i dan anggotanya agar melek teknologi.

Di sisi lain kader muda didorong memproduksi konten kreatif Islam moderat (infografis, vlog, podcast) sehingga dapat bersaing narasi dengan konten radikal di lini masa. Langkah ini sejalan dengan anjuran agar ormas Islam moderat lebih banyak terlibat di dunia maya, jangan sampai internet justru didominasi paham keras.

NU dan Muhammadiyah perlu menekankan pentingnya sanad keilmuan, meski dakwah beralih ke digital. Melalui lembaga pendidikan dan pesantren daring, mereka memastikan ajaran yang disebar tetap bersumber dari ulama otoritatif. Peran ini menjaga otentisitas pemahaman agama di tengah banjir konten tanpa sanad.

Tantangan dan Solusi

Konten provokatif cenderung lebih menarik algoritma dibanding pesan moderat. Narasi intoleran sering tampil nyaring di media sosial karena sifatnya kontroversial dan emosional, sementara konten wasathiyah tenggelam (kurang engagement).

Influencer ekstrem bisa membangun echo chamber yang mengisolasi audiens dari pandangan alternatif. Moderat pun menghadapi tantangan “ silent majority vs noisy minority” di mana kelompok moderat mayoritas bersikap diam, sedangkan minoritas ekstrem sangat vokal.

Fakta di banyak tempat menunjukkan rendahnya literasi digital. Banyak pengguna belum mampu memilah mana konten keagamaan yang kredibel. Hoaks dan ujaran kebencian mudah dipercaya bila dikemas berbau agama.

Minimnya verifikasi dalil (cek sanad, validitas hadis) di kalangan awam membuat misinformasi tumbuh subur. Selain itu serangan siber terhadap juru bicara moderat (misal perundungan digital, doxing) dapat mengintimidasi dan membungkam penyebaran pesan damai.

Lalu bagaimana solusinya? Tidak lain adalah melalui edukasi dan literasi, dan meningkatkan literasi digital keagamaan adalah kunci. Umat perlu dibekali keterampilan memverifikasi sumber ajaran (cek sanad hadis, konteks ayat), mengevaluasi kredibilitas ustaz online, dan mengenali ciri konten radikal.

Program edukasi melalui workshop, kurikulum formal, hingga kampanye publik harus digencarkan oleh ormas, kampus, maupun pemerintah untuk membangun sikap kritis dalam mengonsumsi konten religi.

Kaum moderat perlu lebih proaktif dan kreatif di ruang digital. Da’i dan akademisi Muslim harus memanfaatkan multiplatform (YouTube, podcast, TikTok) dengan strategi konten yang relevan bagi anak muda.

Narasi Islam wasathiyah bisa dikemas melalui storytelling, seni, atau humor yang menarik tanpa mengurangi esensi. Upaya kolektif ini sejalan dengan ajakan agar masyarakat dan ormas menyebarkan pesan rahmatan lil alamin di dunia maya guna membendung pengaruh radikalisme.

Kemudian diperlukan adanya solusi berupa sinergi multi pihak, dan menjaga moderasi beragama di era digital membutuhkan kolaborasi luas. Pemerintah, ormas, komunitas, dan platform teknologi harus bahu-membahu.

Misalnya, BNPT menggandeng kaum muda melalui program Duta Damai Dunia Maya untuk memproduksi konten kontra-radikalisme. Pemerintah juga mengadakan pelatihan bagi aparatur humas lintas lembaga untuk menyebarkan narasi moderat.

Kerja sama dengan perusahaan medsos dalam moderasi konten (filter otomatis, fact-checking) juga perlu ditingkatkan. Sinergi ini akan memenuhi lini masa dengan konten positif dan menekan penyebaran ide ekstrem.

Rekomendasi Strategis

Ormas keagamaan harus meningkatkan kehadirannya di ranah digital dengan menyebarkan konten Islam wasathiyah secara massif, dan perlu dibentuk tim media sosial profesional yang memahami algoritma platform, sehingga pesan moderat dapat menjangkau audiens luas.

Lalu adakan pelatihan bagi da’i muda dalam pembuatan konten kreatif (desain grafis dakwah, editing video) agar dakwah digital lebih menarik. Selain itu, ormas harus aktif berkoordinasi dengan pemerintah dan platform medsos (Facebook, YouTube) untuk memoderasi konten, misalnya melaporkan akun penyebar hoaks dan mendorong take-down konten berbahaya.

Akademisi dan institusi pendidikan juga perlu melakukan riset mendalam terkait pengaruh media digital terhadap pemahaman keagamaan, sehingga dapat dirumuskan pendekatan efektif menghadapi radikalisme online.

Perguruan tinggi bisa memasukkan materi literasi digital religius dalam kurikulum studi Islam maupun umum dan membekali mahasiswa dengan kemampuan navigasi informasi agama di internet.

Akademisi juga perlu menjalin kemitraan dengan ormas dan pemerintah dalam membuat counter narrative, misalnya menyusun modul dakwah wasathiyah berbasis riset atau membangun pusat informasi digital (website) berisi klarifikasi isu-isu keagamaan terkini.

Dengan demikian, komunitas akademik berkontribusi sebagai think-tank dan pengawas konten serta memastikan ruang siber tidak dikuasai narasi ekstrim.

Ormas dan kalangan akademik perlu berkolaborasi erat. Misalnya mengadakan forum diskusi rutin tentang tren konten Islam di media sosial dan berbagi temuan penelitian dengan praktisi dakwah digital.
Keduanya dapat mendorong pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang mendukung penyebaran Islam moderat (seperti kampanye nasional kontra hoaks, atau regulasi transparansi algoritma).

Pendekatan penta-helix (pemerintah, ormas, akademisi, industri, dan komunitas) sangat dianjurkan, guna menciptakan ekosistem digital yang sehat dan edukatif bagi umat.

Penutup: Mengukuhkan Peran Islam Wasathiyah

Digitalisasi konten keislaman ibarat pisau bermata dua. Tantangan berupa maraknya ekstrimisme dan disinformasi harus dijawab dengan memperkuat penyebaran Islam rahmatan lil ‘alamin, dan Islam wasathiyah yang ramah dan inklusif perlu terus dikampanyekan di platform digital.

Pemahaman Islam Wasathiyah yang berkelindan dengan nilai kebangsaan dan demokrasi telah terbukti menjadi penopang persatuan Indonesia. Di tengah masyarakat majemuk, wasathiyah Islam berperan sebagai perekat sosial yang menjunjung toleransi dan keberagaman.

Dalam kaitan ini, upaya menanamkan nilai-nilai Pancasila, demokrasi, dan HAM seiring dengan ajaran Islam wasathiyah, dan ini akan menciptakan kehidupan harmonis dalam kemajemukan

Kolaborasi antara ormas, akademisi, pemerintah, dan generasi muda dalam menjaga ruang siber dari ideologi menyimpang harus terus diperkuat.

Dengan visi bersama, konten keislaman digital dapat dijadikan sarana dakwah yang mencerahkan, menebarkan kedamaian, serta memperkokoh tatanan sosial yang inklusif di Indonesia.

Islam wasathiyah yang diwariskan ulama terdahulu hendaknya menjadi arus utama, sehingga Indonesia tetap teguh sebagai bangsa yang religius sekaligus pluralis.

*Masduki Baidlowi adalah Ketua MUI Pusat Bidang Informasi dan Komunikasi. Materi ini disajikan dalam acara Pelatihan Standarisasi Pentashihan Buku dan Konten Keislaman MUI pada 16 Juni di Kantor BRIN Jakarta.(*)