“Pemerintah Indonesia ke depan harus terus mempertahankan politik luar negeri bebas-aktif secara konsisten, dan pemerintah dituntut melaksanakan politik luar negeri seluwes mungkin tanpa mengabaikan kepentingan nasional.”
Oleh: AAT SURYA SAFAAT*
Tidak dapat dipungkiri, politik luar negeri sama pentingnya dengan kebijakan domestik. Maka, tak heran Debat Calon Presiden (Capres) pada 7 Januari 2024 mengangkat tema pertahanan, keamanan, hubungan internasional, dan geopolitik yang sejatinya kesemuanya terkait erat dengan pelaksanaan politik luar negeri.
Para Capres yaitu Anies Baswedan (Capres nomor urut 1), Prabowo Subianto (nomor urut 2), dan Ganjar Pranowo (nomor urut 3) ketika itu membeberkan visi dan misi serta program masing-masing terkait politik luar negeri Indonesia jika nanti menang dalam Pilpres 2024.
Politik luar negeri itu sendiri adalah komponen dari kebijakan politik nasional yang ditujukan ke luar. Dengan kata lain, politik luar negeri merupakan pencerminan dari kepentingan nasional yang ditujukan ke luar serta merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan nasional.
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia sampai sejauh ini tetap berpegang pada kebijakan politik luar negeri bebas aktif yang secara historis merupakan pengejawantahan dari buah pemikiran Bung Hatta yang terangkum dalam karya legendarisnya dengan judul “Mendayung Antara Dua Karang”.
Politik luar negeri bebas-aktif secara harfiah memiliki makna dasar sebagai suatu kondisi bebas dan tidak terikat, namun tetap bersikap aktif dalam konteks hubungan antar-bangsa, baik di tingkat regional maupun internasional.
Dalam hubungan ini jajaran Kementerian Luar Negeri RI terus menggelorakan perjuangan Indonesia untuk perdamaian dunia, terutama pembebasan Palestina dari penjajahan Zionis Israel.
Upaya itu dilakukan secara konsisten, bukan semata-mata karena Indonesia berpenduduk Muslim terbesar di dunia, tetapi adalah karena adanya amanat konstitusi, apalagi Palestina adalah satu-satunya negara yang belum terbebas dari penjajahan sejak pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada 1955.
Dalam Pembukaan UUD 1945 tertulis “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”.
Tantangan yang tidak ringan
Terkait politik luar negeri, Menlu Retno Lestari Priansari Marsudi dalam beberapa kesempatan menekankan bahwa Pemerintah RI terus berupaya mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif secara konsisten namun kolaboratif dan memberikan manfaat konkret bagi rakyat Indonesia.
Adapun kinerja positif dari pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin dalam pelaksanaan politik luar negeri selama hampir lima tahun terakhir antara lain sikap konsisten untuk mendukung kemerdekaan Palestina, termasuk penolakannya yang tegas terkait status Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Di samping itu Indonesia dapat membina hubungan yang relatif baik dengan negara-negara ASEAN dan negara-negara Asia Pasifik yang pertumbuhan ekonomi, terutama dari sektor pariwisata dan kemaritimannya sangat menjanjikan.
Kementerian Luar Negeri di bawah kepemimpinan Menlu Retno Marsudi juga secara jelas menunjukkan keseriusannya dalam perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri.
Salah satu fokus kebijakan luar negeri Indonesia yang krusial ke depan adalah keberlanjutan diplomasi Indonesia dengan dua raksasa ekonomi yang tengah terlibat perang dagang, yakni China dan Amerika.
Selama kebijakan China dalam berinvestasi di Indonesia tidak merugikan rakyat dalam artian tidak merebut kesempatan kerja warga lokal, maka sejatinya hubungan RI-China relatif tidak ada masalah.
Di sisi lain, Pemerintah RI terus berupaya untuk tetap menjaga hubungan baik dengan Amerika. Meski kondisi AS dan China sedang tegang akibat perang dagang, Indonesia tidak boleh timpang dengan memprioritaskan satu negara saja.
Indonesia harus tetap menjalin hubungan baik dengan China sebagai negara besar di Asia dan AS sebagai negara adidaya di dunia. Indonesia harus tetap menjaga hubungan baik dengan keduanya.
Selain itu, penguatan sistem pertahanan dengan kenaikan anggaran setiap tahun perlu menjadi salah satu kebijakan yang harus diambil, di samping juga harus membangun kedaulatan maritim yang tangguh agar angkatan bersenjata Indonesia selalu siap siaga dan disegani negara-negara lain.
Dalam kaitan ini, kiranya tepat adagium, atau lebih tepatnya peribahasa Latin yang menyatakan “Si vis pacem para bellum (Jika mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang).
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana arah politik luar negeri Indonesia lima tahun mendatang? Siapapun Presiden yang akan terpilih Pada Pilpres 2024 nanti, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus tetap berpegang pada kebijakan politik luar negeri bebas aktif sesuai amanat konstitusi.
Visi para Capres
Dalam debat ketiga Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang digelar di Istora Senayan Jakarta pada 7 Januari 2024, Capres nomor urut 1 Anies Baswedan menegaskan, Presiden Republik Indonesia ke depan harus menjadi “Panglima Diplomasi” di kancah internasional.
Menurut Anies, Indonesia ke depan tidak boleh lagi menjadi “penonton”, melainkan harus menjadi penentu arah perdamaian dan kemakmuran seluruh bangsa di level regional maupun global.
Untuk itu, ke depan Anies ingin agar Indonesia melakukan diplomasi secara “soft power” dengan mengedepankan bagaimana kebudayaan, kesenian, dan ekonomi Indonesia ikut menerangi kancah dunia, di mana di dalamnya ada peran aktif para diplomat dan diaspora Indonesia.
“Kita inginkan seperti itu. Maka, apa yang kita kerjakan membuat Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri, sekaligus tamu mempesona di negeri orang,” kata mantan Gubernur DKI yang juga pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu.
Terkait konflik maritim menyangkut batas laut beberapa negara di Laut China Selatan, menurut dia kunci persoalan ada di tangan ASEAN. Indonesia harus kembali menjadi pemimpin ASEAN yang dominan untuk bisa menjangkau seluruh negara ASEAN yang kini menjadi pintu masuk bagi kekuatan China.
Anies menilai perlunya kesepakatan yang dibangun di internal ASEAN untuk menyelesaikan masalah Laut China Selatan, dan ASEAN harus menjadi satu kesatuan regional untuk berhadapan dengan negara-negara lain.
Sementara itu Capres nomor urut 2 yang juga Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyatakan, Indonesia perlu memperkuat platform pertahanan, khususnya untuk patroli di kawasan maritim.
Prabowo menilai, ke depan banyak sekali satelit yang dibutuhkan guna memantau situasi di kawasan Laut China Selatan, dan dia berpandangan bahwa jika pertahanan RI kuat, maka masalah di Laut China Selatan akan bisa diatasi.
Realisme Prabowo juga terlihat ketika ia mengerahkan argumen defensif terhadap Anies mengenai pentingnya alutsista. Ia mencontohkan situasi di Jalur Gaza, dimana Palestina ditindas karena “lemah” dan tidak memiliki alutsista yang memadai.
Terkait pelaksanaan politik luar negeri, Prabowo menyadari pentingnya peta kebijakan luar negeri Indonesia karena dapat mempengaruhi dinamika hubungan dengan negara-negara lain.
Pada kesempatan yang sama, Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo mengungkapkan pentingnya upaya memprioritaskan kepentingan nasional Indonesia dalam kebijakan politik luar negeri.
“Politik luar negeri kita adalah alat untuk negosiasi terhadap dunia luar, tetapi kepentingan nasional harus nomor satu,” kata Capres yang juga menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah itu.
Dalam kaitan ini, lanjutnya, perlu adanya upaya untuk meredefinisi politik luar negeri bebas aktif, disesuaikan dengan kondisi kekinian. Hal ini dipandang penting karena adanya kebutuhan untuk melakukan pemilihan, pemilahan, dan prioritas terhadap elemen-elemen yang menjadi kekuatan serta keinginan bangsa dan negara.
“Rakyat butuh bekerja, rakyat butuh lapangan kerja lebih banyak, dan investasi harus lebih banyak. Maka, kita mesti memperkuat infrastruktur diplomasi kita. Duta besar dan para diplomat mesti kita berikan penugasan untuk ‘membereskan’ persoalan-persoalan kepentingan ekonomi nasional dalam konteks kekinian,” katanya.
Ganjar juga menyampaikan bahwa upaya dekolonisasi yang dilakukan menjadi dorongan dan keyakinan untuk membebaskan seluruh bangsa tanpa intervensi satu sama lain. Dalam konteks ini, ia menegaskan komitmen Indonesia untuk terus mendukung kemerdekaan Palestina.
Khusus konflik Laut China Selatan, Ganjar menyatakan optimistis masalah itu bisa diatasi dengan menyusun kesepakatan sementara. Indonesia, menurut dia perlu berinisiatif membuat kesepakatan untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan.
Selain itu ia menekankan perlunya upaya untuk memperkuat patroli maritim di wilayah sengketa tersebut. Dia pun mengemukakan perlunya upaya untuk mengerahkan tanker-tanker terapung yang bisa dipakai tentara Indonesia untuk berpatroli di kawasan itu.
Panglima Diplomasi
Salah satu isu menarik dari Debat Capres pada 7 Januari 2024 adalah ide yang disampaikan oleh Anies Baswedan, yaitu perlunya Indonesia menjadi “Panglima Diplomasi” di kancah internasional.
Presiden, menurut dia harus menjadi “Panglima Diplomasi Indonesia”, dalam pengertian, Indonesia harus memainkan peran lebih aktif di panggung internasional. Indonesia ke depan harus siap menjadi pelaku utama dalam konstelasi global.
“Indonesia sudah tidak boleh lagi hanya menjadi penonton dan partisipan pasif di gelanggang dunia. Indonesia harus menjadi ‘agenda setter’ bagi percakapan dan arah perkembangan dunia,” tegasnya.
Khusus soal pelaksanaan politik luar negeri, Menlu Retno pun dalam beberapa kesempatan menekankan adanya empat prioritas politik luar negeri Indonesia, yaitu melindungi NKRI, melindungi WNI di luar negeri, mengintensifkan diplomasi ekonomi, dan meningkatkan peran Indonesia di panggung kawasan dan di dunia internasional.
Anies nampaknya menilai, apa yang dilakukan Menlu Retno sudah bagus, namun kiprah Indonesia di kancah internasional ke depan akan menjadi lebih elegan kalau lebih sering dimainkan dan dipimpin langsung oleh Presiden RI.
Indonesia, menurut Anies harus tampil di depan dengan mencontohkan bagaimana Presiden pertama Indonesia, Soekarno, menggagas konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955, padahal saat itu Indonesia masih miskin.
Konferensi tersebut, lanjutnya, menjadi inspirasi bagi dunia. “The spirit of Bandung” telah menginspirasi seluruh pemimpin gerakan kemerdekaan di Afrika dan Asia.
Optimisme Anies nampaknya dilatarbelakangi kemampuannya dalam melakukan ‘lobby’ dan menjalin ‘networking’ yang luas di dunia internasional. Anies sejak mahasiswa aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan serta melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan tingginya di Amerika.
Anies meraih gelar sarjana ekonomi dari Universitas Gadjah Mada tahun 1995 dan melanjutkan kuliah masternya dalam bidang keamanan internasional dan kebijakan ekonomi di School of Public Affairs, Universitas Maryland di Amerika pada 1997. Ia juga dianugerahi William P. Cole III Fellow di universitasnya, dan lulus pada Desember 1998.
Beberapa waktu kemudian Anies kembali mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan ke Program Doktor dalam bidang ilmu politik di Northern Illinois University Amerika dan lulus pada 2005.
Terkait kemampuan lobbynya, Anies pernah meyakinkan Sekjen PBB Antonio Guterres mengenai Dukungan Aksi Iklim dalam pidato dengan durasi hanya dua menit.
Anies dalam pidato pada gelaran dialog virtual antara Gubernur dan Wali Kota yang tergabung dalam C40 dengan Sekretaris Jenderal PBB pada 17 April 2021 itu berharap Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dapat lebih aktif mendorong kebijakan aksi iklim di tingkat negara.
Kebijakan dimaksud perlu lebih gencar lagi diterapkan di banyak kota di Indonesia, terlebih PBB memiliki peran penting dalam mendorong pembangunan kota-kota di dunia.
Anies baru-baru ini juga mencatat sejarah sebagai orang Indonesia pertama yang mendapat kehormatan diangkat menjadi salah satu anggota Pendiri Dewan Penasihat International Institute of ASEAN Studies di Universitas Oxford, perguruan tinggi tertua, terlama dan ternama di Inggris.
Ke depan, bagi mantan Rektor Universitas Paramadina itu langkah paling strategis adalah memastikan bagaimana Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin) memenangkan Pilpres nanti, sehingga kebijakan luar negeri Indonesia akan dapat dijalankan sesuai visinya menjadikan Presiden sebagai Panglima Diplomasi Indonesia.
Bagaimanapun dan siapapun Presiden dan Wapresnya nanti, gagasan menjadikan Presiden sebagai Panglima Diplomasi Indonesia nampaknya layak untuk dipertimbangkan agar Indonesia makin diperhitungkan sebagai negara yang berpengaruh di dunia internasional.
Lebih dari itu, Pemerintah Indonesia ke depan harus terus mempertahankan politik luar negeri bebas-aktif secara konsisten, dan pemerintah dituntut melaksanakan politik luar negeri seluwes mungkin tanpa mengabaikan kepentingan nasional.***
*Aat Surya Safaat adalah Asesor Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI yang juga Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI). Wartawan senior ini pernah menjadi Kepala Biro Kantor Berita ANTARA New York periode 1993-1998 dan Direktur Pemberitaan ANTARA 2016.
Artikel ini telah tayang di sudutpandang.id dengan judul Menjadi ‘Panglima Diplomasi’ di Kancah Internasional