INFORMASI
DIFa TV Terbit Sejak 1 Agustus 2004 - DIFa TV Merupakan Media Siber Online dan Koran Cetak. Kantor Redaksi DIFA TV Berada Di Jalan Sultan Agung, Gang Perdana Jaya, Labuhan Ratu, Bandar Lampung, Lampung.

Menerapkan “Reward and Punishment” Guna Mewujudkan APH Profesional

Muhammad Yuntri, S.H., MH. (Praktisi Hukum sejak 1986) Berdomisili di Jakarta

Oleh Muhammad Yuntri, SH., MH*

PENERAPAN “reward and punishment” (hadiah/penghargaan dah hukuman) dalam sistem penegakan hukum adalah strategi penting untuk membentuk profesionalisme Aparat Penegak Hukum (APH).

Tujuannya, tentu bukan hanya terkait penghargaan dan hukuman, tetapi juga tentang bagaimana membangun sistem hukum yang adil, akuntabel, dan bebas dari intervensi kekuasaan.

Tahapan tugas APH itu sendiri harus bisa dievaluasi. Seluruh tahapan penanganan perkara, mulai dari laporan pidana di kepolisian, penyelidikan, penyidikan, penuntutan oleh jaksa hingga pemeriksaan oleh hakim di persidangan, termasuk pada tingkat banding dan kasasi harus bisa dikontrol dan dievaluasi guna menghambat adanya “permainan mafia kasus”.

Di sisi lain, perpanjangan penahanan harus sesuai aturan yang berlaku, dan penyimpangan tanpa dasar hukum yang jelas harus dikenakan sanksi bagi oknum APH sesuai tingkatan pemeriksaan, sementara pertanggungjawaban institusionalnya dilakukan melalui ”Peradilan Eksaminasi” jika kasus sudah masuk acara persidangan di pengadilan.

Selanjutnya, perlu dicatat bahwa penahanan harus dilakukan secara proporsional dan sesuai Asas Kemanusiaan. Penahanan hanya untuk kepentingan pemeriksaan harus dibatasi waktunya.

Khusus terkait perkara yang tidak membahayakan masyarakat, tersangka bisa dilepaskan demi hukum, dengan jaminan uang dan fisik dari keluarganya dan alat kontrol elektronik oleh APH. Adapun sisa penahanannya bisa dilanjutkan setelah adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incraht van gewijsde).

Kemudian, bagaimana dengan efektifitas azas praduga tak bersalah? Penerapan efektif terhadap asas praduga tak bersalah adalah bentuk penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Terduga pelaku harus diperlakukan sebagai individu yang belum tentu bersalah sampai adanya putusan berkekuatan hukum tetap.

Penerapan Scientific Crime Investigation

APH dalam melaksanakan tugasnya wajib menggunakan pendekatan ilmiah berbasis bukti dalam penyidikan serta menjunjung Prinsip Presisi yaitu Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan dalam rangka mencari dan menemukan unsur pidana atas pasal yang dituduhkan pada diri Terduga Pelaku.

Sementara itu seluruh lembaga pengawas eksternal (Kompolnas, Komjak, Komisi Yudisial) perlu disatukan dalam satu sistem pengawasan yang kuat dan diberi kewenangan menghukum bagi APH yang melakukan pelanggaran.

Walau wadahnya berbeda-beda, tapi sistem kewenangan menghukum berada dalam satu kesatuan koordinasi terpadu, dan ini akan mempercepat perbaikan perilaku dan profesionalisme APH.

Maka, penerapan “Reward and Punishment” ini harus segera diwujudkan untuk mengubah mindset (pola pikir) APH menuju kerja yang profesional, dimana kinerja yang terukur diapresiasi, sementara yang keliru diberi sanksi yang adil. APH yang berprestasi harus diberi penghargaan dan yang melanggar aturan wajib dikenakan sanksi.

Pengawasan antar sesama APH juga perlu didorong dengan adanya imbalan bagi yang melaporkan adanya pelanggaran jika terbukti. Kemudian bisa diikuti dengan Gugatan Peradilan Eksaminasi secara institusional selain Gugatan Praperadilan yang sudah dijalankan.

Ini merupakan bentuk pertanggungjawaban institusional atas kesalahan yang dilakukan oleh oknum APH, sehingga perlu adanya ruang untuk gugatan peradilan eksaminasi terhadap perkara pada semua tahapan termasuk yang sudah memasuki tahap pemeriksaan di pengadilan.

Semua tahapan ini dapat berjalan beriringan dengan mekanisme praperadilan bagi kasus yang belum masuk tahap persidangan, dan langkah ini akan memperkuat akuntabilitas serta menjadi bagian integral dari sistem “Reward and Punishment”, sekaligus memperbaiki kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Indonesia.

Meminimalkan Rekayasa Hukum

Dengan penerapan ‘’Rreward and Punishment” yang konsisten serta pengawasan yang menyeluruh, rekayasa kasus hukum oleh APH diyakni akan bisa diminimalisir.

Selain menegakkan keadilan, hal ini juga menghindari pemenjaraan berlebihan atas rekayasa pasal terhadap terduga pelaku yang memungkinkan dia ditahan lebih awal sehingga akan mengurangi kelebihan kapasitas rutan dan menekan beban APBN untuk biaya pemeliharaan lembaga pemasyarakatan.

Langkah ini akan mendorong keberhati-hatian APH dalam bekerja, sehingga kepastian hukum yang berkeadilan dan merata akan terwujud. Masyarakat dilindungi secara adil, dan ini merupakan langkah penting menuju cita-cita Indonesia Emas 2045, sekaligus meyakinkan calon investor untuk tertarik dan mempertahankan investasinya di Indonesia.

Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa “Reward and Punishment” bukan sekadar alat manajerial, tetapi merupakan strategi penting untuk membangun budaya hukum yang profesional dan adil. Melalui pendekatan ini, APH tidak hanya bekerja berdasarkan instruksi, tetapi juga berdasarkan etika, integritas, dan akuntabilitas yang dapat diukur.

Konsep ini diharapkan bisa diakomodir dalam revisi UU KUHAP No/1981 yang saat ini sedang berproses di DPR-RI demi tegaknya hukum yang berkepastian, berkeadilan, dan bermanfaat bagi semua lapisan rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. (HBN)