INFORMASI
DIFa TV Terbit Sejak 1 Agustus 2004 - DIFa TV Merupakan Media Siber Online dan Koran Cetak. Kantor Redaksi DIFA TV Berada Di Jalan Sultan Agung, Gang Perdana Jaya, Labuhan Ratu, Bandar Lampung, Lampung.

Ketika Kritik Dibalas Intimidasi: Sebuah Luka Demokrasi di Bandarlampung

OPINI

Oleh: M. Faizzi Ardhitara *)

TULISAN opini ini adalah yang kedua, lanjutan dari tulisan opini pertama yang berjudul, “Banjir Bandarlampung: Bencana Kebijakan yang Direstui Pelanggaran Struktural”. Bandarlampung sedang  mengalami bencana banjir. Banjir tersebut merendam ribuan rumah, menelan korban jiwa, dan memaksa banyak warga mengungsi. Akan tetapi, tidak hanya bencana banjir saja yang dialami oleh warga kota Bandarlampung.

Bencana yang kedua adalah, bagaimana suara-suara warga yang mengeluh, menangis, dan marah justru dibungkam oleh kekuasaan yang alergi kritik.

Di tengah bencana dan air mata, warga Bandar Lampung hanya melakukan satu hal yang menjadi hak mereka sebagai manusia dan warga negara: bertanya, “Mengapa ini terus terjadi?” Namun alih-alih dijawab dengan empati atau rencana nyata, yang datang malah derap sepatu Satpol PP dan ancaman dari mereka yang seharusnya melindungi.

Sebuah video yang viral di media sosial menunjukkan beberapa warga berunjuk rasa mengkritik walikota dan pemerintah kota karena tidak becus dalam menghadapi banjir. Mereka menyalahkan pemerintah kota yang dinilai tak serius memperbaiki masalah banjir. Dalam sebuah video tersebut, beberapa warga diseret oleh pasukan Satpol PP. Kita semua tahu apa artinya itu. Ini intimidasi.

Pertanyaannya sejak kapan mengkritik kebijakan publik menjadi tindakan yang perlu ditindak?

Bandar Lampung bukan kota milik satu orang, Eva Dwiana. Ia adalah rumah bagi jutaan manusia yang punya hak untuk bersuara, terutama ketika hidup mereka terdampak. Tapi Wali Kota saat ini yang seharusnya menjadi pelayan publik tampak lupa bahwa ia bukan raja. Ia dipilih oleh rakyat, digaji oleh rakyat, dan harus bertanggung jawab kepada rakyat. Sayangnya, yang terlihat justru wajah otoriterisme kecil di tengah bencana besar.

Menurut laporan Walhi Lampung, banjir di Bandar Lampung bukanlah musibah semata, tapi bencana ekologis akibat salah urus tata kota dan penghancuran ruang hijau. Tapi siapa yang mendengarkan? Warga yang menyuarakan hal ini dituding membuat gaduh. Bahkan warga yang ingin bertemu walikota di depan kantor wali kota dibubarkan. Padahal, kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi.

Pasal 28E UUD 1945 dengan tegas menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Ini bukan ayat suci demokrasi yang bisa diabaikan sesuka hati. Ini adalah jantung dari negara yang kita sepakati untuk kita tinggali bersama. Jika pemerintah lokal merasa terganggu oleh suara-suara warga, maka jelas ada yang salah bukan pada warganya, tetapi pada cara mereka memerintah.

Penggunaan Satpol PP secara brutal terhadap warga yang mengkritik banjir bukan hanya tidak etis, tapi juga bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang nyata. Ini adalah cermin dari ketakutan. Ya, hanya penguasa yang takut kehilangan legitimasi yang akan membungkam suara rakyatnya sendiri.

Apakah wali kota, Bunda Eva Dwiana tidak sadar bahwa kritik itu tanda cinta? Warga tidak ingin menggulingkan kekuasaan. Mereka hanya ingin air tidak lagi masuk ke ruang tamu mereka setiap kali hujan turun. Mereka hanya ingin anak-anaknya bisa tidur tanpa harus khawatir akan hanyut saat malam dan tidak tewas tenggelam karena kebanjiran. Mereka ingin wali kota mereka bekerja, bukan menyuruh aparatnya untuk menakut-nakuti.

Yang lebih menyedihkan, aparat seperti Satpol PP yang seharusnya menjadi pelayan publik justru menjadi alat kekuasaan yang membabi buta. Mereka lupa bahwa yang mereka hardik, yang mereka dorong, yang mereka gertak adalah rakyat yang membayar gaji mereka lewat pajak. Ini adalah ironi paling getir dari birokrasi kita.

Kita harus bicara jujur: Bandar Lampung saat ini sedang menuju krisis demokrasi kecil-kecilan. Jika kritik dianggap musuh, jika suara warga dibalas intimidasi, dan jika wali kota berlindung di balik tembok kekuasaan, maka kita sedang mundur puluhan tahun ke belakang.

Kritik bukan untuk dijawab dengan tongkat, bukan untuk dihilangkan dengan teror. Ia harus dijawab dengan perbaikan nyata, perbaikan drainase, penghijauan kota, dan rencana tata ruang yang partisipatif. Kemudian yang paling penting: dengan telinga yang mau mendengar.

Kita tidak butuh pemimpin yang merasa selalu benar. Kita butuh pemimpin yang berani mengakui kesalahan dan memperbaikinya. Kita tidak butuh Satpol PP yang jago menakuti. Kita butuh birokrasi yang mengabdi, bukan mengintimidasi.

Banjir mungkin datang lagi tahun depan. Tapi luka karena dibungkam itu akan tinggal lebih lama dari air yang menggenang. Semoga Wali Kota Eva Dwiana masih ingat bahwa ia dipilih bukan untuk berkuasa, tapi untuk melayani.

Dan semoga kita semua, warga negara, tidak pernah berhenti bersuara. Karena diam adalah awal dari kekalahan.***

*) Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Ikatan Wartawan Online (IWO) Provinsi Lampung.