Oleh. Ust. Dr. Muhammad Irfan, S.H.I.,M.Sy
Di bulan Ramadan terdapat satu malam yang memiliki keutamaan lebih dibandingkan malam-malam lainnya, yaitu malam Lailatul Qadr. Hal ini bukan berarti malam-malam lainnya tidak memiliki kemuliaan, melainkan malam tersebut diberikan keistimewaan yang lebih besar.
Karena keistimewaannya, terdapat satu surat khusus dalam Al-Qur’an yang dinamakan Al-Qadr (ayat 1–5). Dalam sebuah riwayat, Rasulullah Saw pernah menceritakan kepada para sahabat tentang seorang dari kalangan Bani Israil yang hidup hingga seribu bulan dan menghabiskan seluruh hidupnya untuk berjuang di jalan Allah (Fi Sabilillah).
Akhirnya para sahabat kagum mereka pun bercita-cita ingin hidup sampai seribu bulan lamanya dengan tujuan hanya ibadah kepada Allah Swt, maka turunlah firman Allah :
Artinya : Sesungguhnya kami telah menurunkan al-qur’an pada malam Lailatu al-Qadr, dan taukah kamu apa malam Lailatu al-Qadr itu, satu malam Lailatu al-Qadr itu lebih baik dibandingkan seribu bulan, pada malam itu turun para malaikat dan ruh (jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan, sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar. (Q.S. Al-Qadr 1-5).
Latar belakang turunnya surat tersebut mengajarkan kepada para sahabat, dan juga kepada kita sebagai umat Islam, agar tidak menyia-nyiakan waktu hidup. Segala perkataan, tindakan, dan aktivitas sehari-hari seharusnya ditujukan semata-mata untuk Allah. Pertanyaannya, berapa lamakah seribu bulan itu? Jika dihitung, seribu bulan setara dengan 83 tahun 4 bulan.
Artinya, seseorang yang hidup selama itu memiliki kesempatan untuk beribadah dalam jangka waktu yang sangat panjang, sehingga secara kuantitas ibadahnya lebih banyak dibandingkan orang yang usianya lebih pendek bahkan ada yang hanya hidup sampai 20 tahun atau kurang dari itu.
Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah seseorang yang hanya berusia 30 atau 40 tahun tidak bisa memperoleh malam Lailatul Qadr? Apakah malam tersebut hanya diperuntukkan bagi mereka yang usianya mencapai seribu bulan, atau seseorang harus hidup sampai seribu bulan terlebih dahulu untuk bisa mendapatkannya? Tentu bukan begitu, karena inti dari ayat tersebut adalah perbandingan keutamaan satu malam yang nilainya melebihi seribu bulan.
Lalu, apa makna sebenarnya dari Lailatul Qadr? Jika kita perhatikan, di awal surat digunakan kata lailatun yang berarti malam identik dengan kegelapan melambangkan ketidaktahuan, kejahatan, keburukan, dan kezaliman. Sementara di akhir surat disebutkan kata fajr yang berarti pagi artinya terang melambangkan pengetahuan dan kebaikan. Maka, Lailatul Qadr bisa dimaknai sebagai proses perubahan pada diri seseorang : dari keburukan menuju kebaikan, dari kekikiran menjadi kedermawanan, dari maksiat menuju ketaatan. Itulah esensi Lailatul Qadr.
Al-Qadr sendiri menjadi dalil sebagai ketentuan, dalam arti Allah ingin menentukan seorang hamba-Nya yang Ia kehendaki untuk menjadi baik.
Dengan kata lain, indikator bahwa seseorang telah meraih Lailatul Qadr adalah ketika ucapan, tindakan, dan sikap hidupnya mengalami perubahan besar ke arah yang lebih baik, dan ia terus mempertahankan perubahan itu hingga akhir hayatnya—sebagaimana isyarat dari lafadz Hatta Mathla’il Fajr.
Wallahu A’lam
Semoga kita semua mendapatkan hidayah Allah Swt. Amin ya Rabbal ‘Alamin.