Oleh : Sudibyo
Kabar memilukan datang dari Kampung Padangenyang, Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Seorang balita bernama Raya harus meninggal dunia dengan tubuh dipenuhi cacing pita. Kisah tragis ini mengguncang nurani kita, sebab yang dipertaruhkan bukan hanya satu nyawa, melainkan gambaran tentang rapuhnya fondasi kesehatan masyarakat kita.
Di usia 80 tahun kemerdekaan, seharusnya kita bisa memastikan anak-anak Indonesia tumbuh sehat, cukup gizi, dan memiliki akses kesehatan yang layak. Namun kematian Raya justru menjadi tanda tanya besar: di manakah peran negara ketika seorang balita hidup dalam kondisi kekurangan gizi dan sakit yang bisa dicegah?
Tragedi ini memperlihatkan rantai persoalan yang panjang. Kemiskinan menjadi akar pertama keluarga tidak mampu memberikan asupan gizi seimbang. Sanitasi yang buruk memperparah kondisi, membuka jalan bagi infeksi parasit yang berkembang biak di tubuh anak. Lalu, minimnya layanan kesehatan di pelosok membuat penyakit yang seharusnya bisa ditangani sejak dini justru dibiarkan berlarut hingga merenggut nyawa.
Kematian Raya tidak bisa kita pandang sebagai musibah biasa. Ini adalah cermin kegagalan sistemik. Gagalnya kebijakan pembangunan yang lebih banyak menitikberatkan pada infrastruktur fisik ketimbang kesehatan dasar masyarakat. Gagalnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam memastikan puskesmas, tenaga medis, dan fasilitas obat tersedia memadai. Dan gagal pula dalam menempatkan anak-anak sebagai prioritas dalam agenda pembangunan bangsa.
Betapa ironisnya, di satu sisi kita sering mendengar angka-angka besar dalam anggaran, berbicara tentang triliunan rupiah untuk berbagai proyek. Namun di sisi lain, seorang balita di pelosok negeri meninggal hanya karena tubuhnya tidak mampu melawan cacing pita. Apakah arti kemerdekaan bila anak-anak miskin masih harus meregang nyawa akibat penyakit yang seharusnya bisa dicegah dengan obat cacing murah dan program kesehatan rutin?
Raya adalah simbol. Ia mewakili suara anak-anak lain yang masih hidup dalam bayang-bayang gizi buruk, stunting, penyakit menular, dan keterbatasan layanan kesehatan. Ia adalah alarm bagi kita semua bahwa kemerdekaan belum benar-benar dirasakan oleh rakyat kecil di desa-desa terpencil.
Kita harus berani jujur, pembangunan tanpa keadilan kesehatan hanyalah kemajuan semu. Bila anak-anak di desa tidak mendapat perhatian, maka masa depan bangsa ini ikut dipertaruhkan.
Kemerdekaan 80 tahun seharusnya menjadi momentum untuk bercermin. Apakah kita sudah benar-benar merdeka dari kebodohan, kemiskinan, dan penyakit? Ataukah kita hanya merdeka di atas kertas, sementara rakyat kecil tetap menderita?
Kematian seorang balita bernama Raya seharusnya menggugah pemerintah daerah, provinsi, hingga pusat untuk menata ulang prioritas pembangunan. Kesehatan anak harus diletakkan di urutan teratas, bukan sekadar janji kampanye atau angka dalam laporan tahunan. Karena tanpa generasi yang sehat, kuat, dan cerdas, tidak ada makna bagi kata “kemerdekaan”.
Satu anak yang meninggal dengan cara memilukan sudah lebih dari cukup untuk mengatakan bangsa ini masih gagal memenuhi janji kemerdekaan bagi seluruh rakyatnya.